Jumat, 26 November 2010

kelompok 3

ARTIKEL
MENGENAI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Berbasis Sekolah
Dosen Pengampu Prof. Dr. Slameto, M.Pd.





Disusun Oleh :
1. Daniel Hendra P (292008517)
2. Katrina L.H.R (292008519)
3. Andriani Ika P. (292008521)
4. Ana Yuliana (292008523)
5. Dea Pungky P (292008525)



PROGRAM STUDI S1 PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2010

ABSTRAK
(inti sari dari ketiga belas pokok permasalahan menyangkut ”apa,mengapa,bagaimana”)


PENDAHULUAN
(Latar Belakang : Pentingnya ketiga belas materi tersebut dibahas dlm artikel ini)
(Masalah dan Tujuan : diambil dari ketiga belas permasalahan dalam materi tersebut dan tujuan penulisan artikel ini dari ketiga pokok permasalahan)

Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based govermance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Batasan masalah:
1. Apa itu Manajemen Sekolah
2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan
















PEMBAHASAN
1. Deskripsikan perkembangan pelaksanaan MBS di Kanada
Model MBS di Kanada
Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan pendelegasian keuangan ( Financial Delegation). Awal pergerakan ke arah MBS dimulai di Edmonton Public School District Alberta, yang menggunakan pendekatan ” School site decisiom making” yang telah menghasilkan desentralisasi alikasi sumber daya, baik tenaga pendidik dan kependidikan, kemudian MBS lebih dikembangkan pada 7 sekolah rintisan pada 1970, dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen mandiri ( Self management) secara komprehensif pada tahun 1980 – 1981 yang pada akhirnya hingga saat telah dikembangkan di tahun 1980, 14 sekolah rintisan mempeluas pendekatan dengan melibatkan layanan konsultan. Model ini memiliki ciri tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Juga memiliki ciri penting mode formula – dekorasi- sumber daya. Pada tahu 1981 diadakan program pengefektifan guru. Pada tahun 1986- 1987 dilakukan program pengembangan profesional guru degan pandangan diri ” School Based budget”. Pada tahun 1994 provinsi Alberta merencanakan untuk memulai konstrukturisasi sistem secara keseluruhan yang berkaitan dengan menggunakan reformasi yang luas dibidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada departemen pendidikan yang lebih kecil. Pengurangan jumlah ” School District”, serta penyerahan sebagian besar kewenangan kepada tingkat sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat, dan kalangan bisnis, dengan kewenangan untuk pengambilan keputusan dalam layanan pendidikan.Di Indonesia, penerapan pandekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003, dasar hukum penerapan model MBS adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pandidikan nasional. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, rintisan program MBS di SD dan MI telah di;la;uka;n untuk meningka;tkan; mutu pembelajaran. Program ini menekankan pada 3 komponen yaitu, MBS, PSM, dan PAKEM
2. Berikan penilaian saudara apakah lima kebijakan pokok dalam SMI sudah menjawab masalah-masalah pendidikan di Hongkong.
Model MBS di Hongkong
Menurut kelompok kami 5 kebijakan; dalam SMI sudah cukup menjawab masalah- masalah pendidikan di Hongkong, karena pembuatan kebijakan itu berangkat dari keinginan untuk manangani masalah- masalah pendidikan disana. Namun untuk di Indonesia, mungkin kurang dapat memenuhi, karena; bagaimanapun juga antara Indonesia; dengan Hongkong memiliki beberapa masalah yang berbeda dalam dunia pendidikan.

3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ”Site-based management” dalam pelaksanaan MBS di Amerika Serikat, dan berikan satu ilustrasinya!
Model MBS di Amerika Serikat
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management (SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991) yang dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di Negara-negara federal, ada dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS, yakni :
a. Desentralisasi administratif : kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas-tugas tertentu yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah local masih bertanggungjawab keatas.
b. Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para orang tua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf

Berdasarkan penelitian MBS di Amerika, kepala sekolah berhak mengontrol kurikulum, pengangkatan guru, dan disiplin sekolah yang dapat menghasilkan kemajuan yang seknifikan terhadap pendidikan disekolahnya.

Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.

4. Sebutkan delapan motif diterapkannya MBS, dan uraikan satu motif terpenting dari penerapan MBS di satu sekolah!
1. 8 motif diterapkannya MBS: ekonomi
2. profesional
3. politik
4. efisiensi administrasi
5. finansial
6. prestasi siswa
7. akuntabilitas;
8. evektivitas sekolah


Motif terpenting dari diterapkannya MBS adalah meningktkan prestasi siswa, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika orang tua dan para guru diberi otoritas untuk membuat keputusan atas nama sekolah mereka, hal ini akan membuat suasana; sekolah berubah untuk menukung pencapaian prestasi siswa. Lebih jelasnya, MBS disini akan mengubah proses pembelajaran melalui otonomi dalam mendesain pembelajaran untuk meningkatkan prestasi siswa sesuai dengan sumber daya; yang dimiliki.

5. Berdasarkan uraian tentang penerapan / implikasi pelaksanaan MBS diatas, tentukan pihak manakah yang paling banyak harus mengubah peranannya dalam pengelolaan pendidikan, Jelaskan pula mengapa?

Peranan Masing-Masing Pihak dalam MBS:
Dalam MBS masing-masing pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus mmiliki peranaan yang sangat penting. Masing-masing pihak yang dimaksud adalah kantor pendidikan pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawasan sekolah, kepala sekolah, para guru, orang tua siswa, dan masyarakat luas.
Peranan Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indonesia di era otonomi daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menetapkan standar kompetensi siswa dan warga, pengaturan kurikulum nasiona dan system penilaian hasil belajar, penetapan pedoman pelaksaan pendidikan, penetapan pembiayaan pendidikan, penetaapan persyaratan, sertifikasi siwa, warga belajar, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu, menjaga keseteraan mutu antar daerah dan antar daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembetulan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program pendidikan.
Peran Dewan Sekolah dan Pengawasa Sekolah
Dewan sekolah akan memiliki peran untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang lebih luas, menyatukan visi, memperjelas misi baik untuk pemerintah daerah maupun untuk sekolah itu sendiri. Dewan sekolah menentukan kebijakan sekolah, visi, misi sekolah dengan mengacu pada ketentuan nasional dan daerah. Oleh karena itu, anggota dewan sekolah sebaiknya diisi oleh meraka yang mampu menganalisis kebijakan pendidikan, mampu melakukan komunikasi dengan baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta memiliki wawasan yang luas tentang pendidikan di daerahnya.
A. Peran Kepala Sekolah
Pada tingkat sekolah, kepala sekolah sebagai figure kunci dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sekolah. Kepala sekolah tidak hanya meningkatkan tanggung jawab dan otoritas dalam program-program sekolah, kurikulum, dan keputusan personal, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk miningkatkan akuntabilitas keberhasilan siwa dan programnya. Kepala sekolah harus pandai dalam memimpin kelompok dan pendelegasian tugas dan wewenang.
B. Peran Para Guru dan Administrator
Pemberdayaan dan akuntabilitas guru dan administrator adalah syarat penting dalam MBS. Guru-guru memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan dengan berpartisipasi dalam perencanaan, pengembangan, monitoring, dan meningkatkan program pengajaran di dalam sekolah. Peran guru dalam MBS menurut Cheng (1996) adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan, dan pengimplementasi program pengajaran. Mereka bekerja sama dengan komitmen bersaman dan partisipasi bersama dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusime.
Agar para guru memiliki peran yang lebih besar dalam pengelolaan sekolah maka perlu dilakukan desentralisasi pengetahuan. Terdapat dua jenis pengetahuan yang penting yang harus dimiliki oleh guru. Pertama, pengetahuan yang berkaitan dengan tanggung jawab partisipasi sekolah didalam rangka MBS. Yang termasuk dalam pengetahuan ini adalah cara mengorganisasi pertemuan-pertemuan, bagaimana cara meraih consensus, dan bagaimana cara membuat anggaran. Kedua, berkaitan dengan pengajaran dan perubahan program-program sekolah, diantaranya mencakup pengetahuan tentang pengajaran, dan kurikulum.
C. Peran Orang Tua dan Masyarakat
Penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Diknas RI menunjukan bahwa berdasarkan penilaian guru, tingkat partisipasi orang tua siswa dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah masih sangat rendah, yaitu rata-rata hanya 57,1 %. Partisipasi orang tua siswa yang sangat rendah ialah dalam menentukan kebijakan program sekolah dan mengawasinya, pertemuan rutin, kegiatan ekstra kurikuler, dan pengembangan iklim sekolah. Partisipasi orang tua yang sangat tinggi ialah dalam mengawasi mutu sekolah, pertemuan BP3, pembayaran dan bentuk iuran BP3 per bulan dan sumbangan uang gedung untuk siswa. Memang selama ini sekolah terjadi jurang pemisah antara keluarga dan masyarakat. Bahkan terjadi anggapan bahwa sekolah adalah tempat penitipan anak karena orang tua tidak memiliki waktu untuk mendidik dan menjaga. Walaupun sekolah menjadi panti social bagi anaknya, apresiasi orang tua dan masyarakat masih amat rendah. Malangnya lagi selama ini belum ada upaya-upaya untuk menjembati jurang pemisah tersebut. Komunikasi orang tua dan masyarakat dengan sekolah hanya terjadi setahun sekali, itu pun ketika terjadi pemberitahuan perubahan besarnya iuran SPP dan BP3 atau pemberitahuan tunggakan yang harus dilunasi. Mandeknya komunikasi ini makin parah ketika timbulnya kekerasan bahwa diantara mereka terjadi perbedaan kelas social dan tidak ada kesamaan visi dalam mendidik siswa.sejalan dengan upaya reformasi pendidikan nasional melalui MBS, hubungan sekolah dengan keluarga sehingga tanggung jawab pendidikan bukan hanya dibebankan pada sekolah. Dengan cara membentuk Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Persatuan Guru, dan Orang Tua Siswa, atau pun namanya untuk memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan. Orang tua aiawa harus menyediakan waktu sebanyak mungkin untuk berkunjung ke sekolah dank e kelas gunu mengontrol anaknya. Amat diperlukan diskusi dengan guru dan pembimbing siswa sehingga mengetahui hambatan dan kemajuan yang dialami anaknya

6. Berdasarkan uraian tentang kendala – kendala pelaksanaan MBS diatas, buatlah saran pemecahan agar kendala tersebut dapat diminimalisir kehadirannya dalam pelaksanaan MBS di sekolah saudara?
Kendala yang dihadapi
• pengambilan keputusan
• peran serta dalam pengambilan keputusan
• alokasi sumber daya
• akuntabilitas

Masalah dan Kegagalan dalam Implementasi MBS:
Dalam implementasi MBS juga dihadapi berbagai macam masalah seperi berbagai macam pihak terkait harus bekerja lebih banyak daripada sebelumnya, kurang efisien ( dalam jangka pendek karena salah satu tujuan MBS adalah terjadinya efisiensi pendidikan), kinerja sekolah yang tidak meraa, meningkatnya kebutuhan pengembangan staf, terjadinya kebingungan karena peran dan tanggung jawab yang baru, kesulitan dalam melakukan kordinasi dan masalah akuntabilitas. Penghambat lainnya yang sering muncul adalah kurangnya pengetahuan berbagai macam pihak tentang bagaimana MBS dapa bekerja dengan baik. Juga masalah kurangnya keterampilan unuk mengambil keputusan, ketidakmampuan dalam berkomunikasi, kurang kepercayaan antar pihak, ketidak jelasan peraturan tentang keterlibatan masing-masing pihak, ketidakjelasan peraturan tentang keterlibatan masing-masing pihak., dan keengganan administrator dan guru untuk memberikan kepercayaan pada pihak lain dalam mengambil keputusan. Wohlstetter dan Mohrman (1996) menyatakan terdapat empat macam kegagalan implementasi MBS. Pertama, penerapan MBS hanya sekedar mengadopsi model apa adanya tanpa upaya kreatif. MBS bukanlah model yang mati dan tidak ada satu model baku yang bisa diterapkan di semua sekolah dan semua daerah. Oleh karena itu, sekolah harus mengadopsi model MBS sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungannya masing-masing. Kedua, kepala sekolah bekerja berdasarkan agendanya sendiri tanpa memperhatikan aspirasi seluruh anggota dewan sekolah. Sekolah harus mengajak dewan sekolah dan seluruh Stakeholder untuk membuat agenda. Kesepakaan atas agenda yang akan dijalankan ini harus menjadi pegangan utama kepala sekolah dalam menjalankan dan menerapkan MBS. Ketiga, kekuasaan pengambilan keputusan terpusat pada satu pihak dan cenderung semena-mena. Tidak ada sau pihak pun yang memiliki kekuasaan lebih dibandingkan pihak lain dalam pengambilan keputusanmodel MBS ini. Yang ada adalah saling memperhatikan kepentingan masing-masing pihak sehinnga keputusan yang diambil bisa seimbang dan adil. Keempat, mengangap bahwa MBS adalah hal biasa dengan tanpa usaha yang serius akan berhasil dengan sendirinya. Pada hal dalam kenyaaan, implementasi MBS memakan waktu, tenaga, dan pikiran secara besar-besaran.
Pengalaman berbagai Negara menunjukan MBS akan bisa dinilai hasilnya setelah lebih dari empa tahun berjalan. Sejak September 1999, J. C. Tukiman Taruna menjadi pelaksana dan penanggung jawab langsung penerapan MBS 45 Sekolah Dasar atau Madrasah Iptidayah di Wilayah Profinsi Jawa Tengah. Ke 45 sekolah itu terbesar di tiga Kabupaten masing-masing lima belas sekolah (Sekolah Dasar Negeri, Sekolah Dasar Impres, Sekolah Dasar Swasta, Madrasah Iptidayah Negeri, Madrasah Iptidayah Swasta). Konsep MBS rata-rata telah diterima oleh semua pihak untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah.
Menurut Taruna, ada empat pemicu mendorong pentingnya konsep MBS untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah. Pertama, empat pilar tujuan pendidikan tidak terlaksana dengan baik karena system penyelenggaraan yang sentralistik. Dimanapun kegiatan belajar mengajar itu berlangsung, proses itu seharusnya mampu menjawab damba ( harapan) murid dalam hal: (1) belajar untuk mengetahui, (2) belajar untuk melaksanakan, (3) belajar unuk hidup bersama, dan (4) belajar untuk kemandirian. Keempat damba murid dalam penyelenggaraan pebdidikan yang sentralistik sulit terakomodasi di sekolah. Konsep MBS menawarkan desentralisasi berfikir, artinya memberikan atau membuka peluang agar kepala sekolah, guru dan juga murid sebagai subjek kegiatan belajar mengajar. Kedua, kepala sekolah selama ini tidak berbuat banyak untuk kegiatan belajar mengajar, tetapi berbuat sangat banyak untuk urusan administrasi dan kedinasan. Ketiga, guru membuat kegiatan belajar mengajar di kelas menjadi sangat formal, mengajar secara kaku, dan buah dari semua itu adalah kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan sanga berat atau menekan.
Konsep MBS ingin memgubah semua yang memberatkan atau menekan itu menjadi suatu kegiatan belajar mengajar yang aktif dan menyenangkan. Keempat, akumulasi dari ketiga hal di atas tercermin dalam kualitas pendidikan yang cenderung rendah atau kurang baik. Kemerosotan mutu pendidikan menjadi sangat jelas seperti SD atau MI kelas tiga belum lancer membaca atau menulis. Disebutkan bahwa salah sau kunci MBS terletak pada sosialisasi lewat pelatihan paralel.
Berdasarkan pengalaman Reynolds (1997) dalam menerapkan MBS di Amerika Serikat, yang paling memakan waktu adalah dalam pembentukan tim-tim local yang terpusat pada tiga hal, yaitu isu-isu yang berkaitan dengan organisasi tim local dan upaya untuk mendefinisikan tujuannya, isu-isu yang berkaitan dengan manajemen di samping isu pengajaran, dan usulan yang ditolak oleh tingkat yang lebih tinggi di dalam suatu distrik. Selain itu, Reynolds juga mengemukakan bahwa terdapat sembilan kunci yang mendukung keberhasilan implemenasi SBM di sekolah, yaitu mengadopsian suatu perspektif yang lebih luas akan suatu system, memahami konteks perubahan, mengembangkan perspektif dan keterampilan kepemimpinan, menciptakan visi bersama, mengembangkan keterampilan strategi perencanaan, mendefinisikan peran baru, memperbaiki lingkungan kerja, pemahaman akan dinamika kelompok dan memperjelas akuntabilitasnya.
Menurut aruna, ada enam tolak ukur keberhasilan MBS, yaitu (a) berkurang sebanyak mungkin angka tinggal kelas erutama di kelas rendah, (b) berkurang sebanyak mungkin angka putus sekolah, (c) semakin berkenbangnya otonomi kepala sekolah dan guru-guru di sekolahnya sendiri, (d) semakin seringnya BP3 rapat memikirkan peningkatan mutu partisipasi orang tua murid dan masyarakat, (e) semakin banyaknya dukungan (bukan pengawasan) oleh pihak aparat Kecamatan dan Kabupaen erhadap sekolah,(f) semakin tercipanya kegiatan belajar mengajar yang aktif-menyenangkan di semua kelas disepanjang hari.
Implemenasi MBS juga menghadapi sejumlah antangan seperti dikemukakan Bank Dunia. Pertama, tantangan demokrasi. Winkler dan Gershberg(1999) menyebukan bahwa MBS akan berjalan baik pada kondisi dimanapun demokrasi telah berjalan dengan baik.dan factor-faktor eksternal local juga mendukung. Namun, akan terjadi masalah apabila pengambilan keputusan local hanya dipegang oleh sebagian eli saja maka kesejaheraan social idak akan terjadi. Risiko ini akan lebih besar dimasyarakat yang hanya memiliki sediki pengalaman dalam demokrasi partisipaif pada tingkat local. Kedua, antangan lain adalah masalah keseimbangan keberhasilan. Perlu disadari oleh banyak kementerian pendidikan bahwa masalah utama dalam menimplementasikan MBS adalah untuk menyeimbangkan dan meningkakan difersifikasi, fleksibilitas, dan control local dengan tanggung jawabnya untuk meyakinkan bahwa: (a) penyediaan pendidikan dilakukan secara baik di seluruh negeri, (b) kualitas pendidikan di seluruh negeri hamper sama baiknya berdasarkan geografis, social ekonomi, dan etnik di dalam masyarakatnya. Ketiga, tantangan terakhir adalah yang berkaitan kurangnya bukti-bukti. Fullan danWatston (1999) memberi komenar bahwa penelitian terbaik dalam MBS mengidentifikasi factor-faktor dan kondisi yang berkaitan dengan keberhasilan, hal ini tidak menunjukkan kepada kita bagaimana menetapakn kondisi-kondisi tersebut ketika kondisi-kondisi tersebut tidak ada. Penelitian hanya memotret kasus-kasus yang berhasil yang sudah berjalan dan hanya memberi sedikit gambaran bagaimana mencapai kesuksesan tersebut.


Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS):
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.


5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Jelaskan karakteristik MBS dari segi pengelolaan kekuasaan / kewenangan di tingkat sekolah!

KARAKTERISTIK MBS
MBS memiliki delapan karakteristik yang bertolakbelakang dengan karakteristik Manajemen Kontrol Eeksternal (MKE) yaitu dalam hal misi sekolah, strategi-strategi manajemen, hakikat aktivitas-aktivitas, penggunaan sumber-sumber daya, peran warga sekolah, hubungan interperonal, kualitas pada administrator dan indikator-indikator efektivitas (Ibid, hh. 48-58).

1. Misi sekolah. Sekolah dengan MBS memiliki cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok harapan bersama, keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing warga sekolah di dalam aktivitas pendidikan dan arahan kerja. Ini adalah budaya organisasi yang besar pengaruhnya terhadap fungsi dan efektivitas sekolah. Budaya organisasi sekolah yang kuat harus dikembangkan diantara warga sekolah sehingga mereka bersedia berbagi tanggung jawab, bekerja keras dan terlibat secara penuh dalam pekerjaan sekolah untuk mencapai cita-cita bersama. Budaya sekolah yang kuat juga mensosialisasikan warga baru untuk memiliki komitmen terhadap misi sekolah dan dalam waktu yang sama memaksa warga lama bekerjasama secara terus menerus untuk menjalankan misi. Bila kita ingin sekolah kita mengambil inisiatif untuk memberikan kualitas pelayanan yang baik untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang bermacam-macam dan kompleks maka budaya organisasi yang kuat harus dikembangkan oleh warga sekolah untuk sekolahnya sendiri.

2. Hakikat aktivitas-aktivitas sekolah berarti sekolah menjalankan aktivitas-aktivitas pendidikannya berdasarkan karakteristik, kebutuhan dan situasi sekolah. Hakikat aktivitas berbasis sekolah adalah amat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini secara tak langsung mempromosikan perubahan manajemen sekolah dari model manajemen kontrol eksternal menjadi model berbasis sekolah. Ketika sebuah sekolah dikontrol secara eksternal, hanya mengimplementasikan tugas-tugas berdasarkan kebijakan dari otoritas pusat. Isi, metode dan evaluasi pengajaran cenderung mengikuti standar yang sama. Selain itu fasilitas, personel, organisasi, pengajaran dan pengelolaan sekolah semuanya dikontrol secara hati-hati oleh otoritas pusat ekstenal dan oleh karena itu aktivitas-aktivitas sekolah tidak berbasis sekolah.


3. Strategi-strategi manajemen. Perubahan arah dari MKE ke MBS dapat direfleksikan dalam aspek-aspek strategi manajemen berikut ini.
a. Konsep atau asumsi tentang hakikat manusia. Berlandaskan pada teori McGregor (1960) MBS menggunakan teori manajemen Y yang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Teori Y menyarankan bahwa partisipasi demokratik, perkembangan profesional dan kemajuan kehidupan kerja adalah penting untuk memotivasi guru-guru dan para siswa. Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943) dan Alderfer (1972) bahwa guru dan siswa kemungkinan memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda, diluar keuntungan ekonomi. Mereka mengejar interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang. Dalam rangka memuaskan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras. MBS dapat menyediakan fleksibilitas lebih dan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan-kebuthan guru dan siswa dan memberi peran terhadap talenta-talenta mereka.
b. Konsep organisasi sekolah. Dalam organisasi modern, konsep organisasi telah berubah. Kini orang percaya bahwa sebuah organisasi adalah tempat untuk hidup dan berkembang. Organisasi bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang statis, misalnya produk yang berkualitas. Sekolah sebagai organisasi tidak sekedar tempat persiapan anak-anak dimasa mendatang, tetapi juga tempat untuk siswa-siswa atau guru dan admnistrator untuk hidup, tumbuh dan menjalani perkembangan. Tanpa perkembangan profesional dan keterlibatan yang antusias dari guru-guru dan administrator maka sekolah tak dapat dikembangkan dan ditinkatkan secara terus menerus, dan siswa-siswa tidak memiliki pembelajaran hidup yang kaya. Oleh karena itu dalam sebuah manajemen berbasis sekolah, sekolah tidak hanya tempat membantu perkembangan siswa tetapi juga tempat perkembangan guru dan administrator.
c. Gaya pengambilan keputusan. Dalam MBS maka gaya pengambilan keputusan pada tingkat sekolah adalah pembagian kekuasaan (power sharing) atau partisipasi (partisipation) dengan alasan sebagai berikut: (1). Tujuan sekolah sering tidak jelas dan berubah-ubah. Partisipasi guru, orang tua, siswa dan alumni dapat membantu untuk mengembangkan tujuan yang dapat lebih merefleksikan situasi saat ini dan kebutuhan masa depan. (2). Tujuan sekolah itu beragam dan misi sekolah itu kompleks. Diperlukan intelegensi, imajinasi dan usaha dari banyak orang untuk mencapainya. Partisipasi atau keterlibatan guru, orang tua dan siswa dalam pengambilan keputusan adalah sebuah sumbangan yang penting bagi siswa. (3). Partisipasi dalam pengambilan keputusan memberikan kesempatan kepada warga dan bahkan administrator untuk belajar dan berkembang dan juga mengerti dalam mengelola sekolah. (4). Partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah proses untuk mendorong guru-guru, orang tua dan siswa untuk terlibat di sekolah.
d. Gaya kepemimpinan. Menurut Sergiovanni (1984) terdapat lima tingkat kepemimpinan Kepala Sekolah dari rendah ke tinggi yaitu kepemimpinan teknis, manusia, pendidikan, simbolik dan budaya. Dalam merespon perubahan ke MBS maka gaya kepemimpinan kepala sekolah berubah dari tingkat rendah ke pememimpinan multi tingkat, berarti tidak hanya kepemimpinan teknis dan manusia melainkan juga kepemimpinan kependidikan, simbolik dan budaya.Bila kita yakin bahwa pekerjaan sekolah menjadi kian tak menentu, kompleks dan sulit, dan latar belakang pemikiran dan talenta warga sekolah lebih bermacam-macam dari sebelumnya maka aspek simbolik dan budaya kepemimpinan kepala sekolah harus ditetakankan. Kepala sekolah harus mmberi contoh yang baik untuk membantu warga sekolah memahami dan menghargai makna yang melandasi aktivitas-aktivitas sekolah, menyatukan berbagai perbedaan diantara berbagai warga, mengklarifikasi ketidakpastian dan ambiguitas, mengembangkan keunikan budaya dan misi sekolah, dan memotivasi setiap orang untuk bekerja demi masa depan yang lebih baik.
e. Pengunaan kekuasaan. French dan Reven (1968) mengklasifikasikan kekuasaan menjadi lima kategori yaitu penghargaan, paksaan, legitimasi, referensi dan keahlian. MBS simaksudkan untuk mengembangkan SDM dan mendorong komitten dan inisiatif warga sekolah, maka gaya tradisional dalam penggunaan kekuasaan harus dirubah. Maka administrator disarankan menggunakan kekuasaan terutama keahlian dan referensi, memberi perhatian terhadap pertumbuhan profesional guru, menjadi pemimpin yang profesional terhadap guru-guru dan memberi inspirasi pada guru-guru dan siswa untuk bekerja secara antusias dengan kepribadian mulia mereka.
f. Keterampilan-keterampilan manajemen. Ketika mengadopsi MBS maka pekerjaan manajemen internal menjadi lebih kompleks dan berat oleh karena itu diperlukan konsep-konsep baru dalam keterampilan manajemen baru. Misalnya metode-metode ilmiah untuk analisis keputusan, keterampilan mengelola konflik, strategi efektif untuk perubahan dan perkembangan organisasi.

3. Penggunaan sumber-sumber daya. MBS dalam model school-based budgeting program memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengadakan dan menggunakan sumber daya. Dengan demikian, self-budgeting menyediakan suatu kondisi yang penting pada sekolah untuk menggunakan sumberdaya-sumberdaya secara efektif berdasarkan karakteristik dan kebutuhan mereka guna memecahkan masalah yang timbul saat itu dan mengejar tujuan mereka sendiri sepeti yang berlaku di Inggris, Kanada, Australia, Amerika Serikat dan Hong Kong. Namun pada MKE sebagian besar sumber daya dan pengeluaran sekolah-sekolah negeri datang langung dari pemerintah. Pemerintah perlu mengawasi secara dekat bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya. Sehingga pemerintah memerlukan SDM yang banyak dan sumber daya yang besar untuk mengawasi penggunaan sumber daya di sekolah. Setiap aspek pembiayaan sekolah harus berkonsultasi dan minta persetujuan dari pusat. Sekolah tidak mudah untuk mengadakan sumber daya di bawah pertentangan-pertentangan dengan otoritas pusat. Oleh karena itu sekolah tidak dapat menggunakan sumber daya secara efektif dalam rangka memenuhi kebutuhan manajemen dan aktivitas pengajaran.

5. Perbedaan-perbedaan peran. Peran warga sekolah secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh kebijakan manajemen pemerintah, misi sekolah, hakikat aktivitas sekolah, strategi-strategi pengelolaan internal sekolah, dan gaya penggunaan sumber daya. Perubahan ke model MBS menuntut peran aktif sekolah, administrator, guru, orang tua dari yang semula pasif.
a. Peran Sekolah. MBS bertujuan untuk mengembangkan siswa, guru dan sekolah menurut karkteristik sekolah itu sendiri. Oleh karena itu peran sekolah adalah gaya pengembangan, inisiatif, memecahkan masalah, dan mengeksplorasi semua kemungkinan untuk memfasilitasi efektivitas pengajaran guru dan efektivitas pembelajaran siswa.
b. Peran Departemen Pendidikan. Dalam MBS aktor kunci adalah sekolah dan peran otoritas pusat (Departemen Pendidikan) hanya sebagai suporter/pendukung atau advisor/penasehat yang membantu sekolah untuk mengembangkan sumber dayanya dan secara khusus untuk menjalankan aktivitas pengajaran efektif.
c. Peran Para Administrator. Peran administrator dalam MBS adalah pengembang dan pemimpin sebuah tujuan. Mereka mengembangkan tujuan-tujuan baru untuk sekolah menurut situasi dan kebutuhannya. Selain itu juga memimpin warga sekolah untuk mencapai tujuan dan berkolaborasi dan terlibat penuh dalam fungsi sekolah. Mereka juga memperlebar sumber-sumber daya untuk mempromosikan perkembangan sekolah.
d. Peran Para Guru. Dalam MBS, cita-cita sekolah dan strategi-strategi pengelolaan mendorong partisipasi dan perkembangan dan peran guru adalah sebagai rekan kerja, pengambil keputusan dan pengimplementasi. Mereka bekerja bersama-sama dengan komitmen bersama dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk mempromosikan pengajaran efektif dan mengembangkan sekolah mereka dengan antusiasme.
e. Peran Para Orang Tua. Dalam MBS, para orang tua menerima pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang menerima pendidikan yang mereka butuhkan. Peran orang tua adalah sebagai partner dan suporter. Mereka dapat berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik siswa secara kooperatif, berusaha membantu perkembangan yang sehat kepada sekolah dengan memberi sumbangan sumber daya dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah pada saat mengalami kesulitan dan krisis.

6. Hubungan antar manusia. Dalam terminologi MBS menekankan hubungan antar manusia yang cenderung terbuka, bekerjasama, semangat tim dan komitmen yang saling menguntungkan. Maka iklim organisasi cenderung mengarah ke tipe komitment. Iklim organisasi seperti gaya tanpa pimpinan (headless style), gaya tanpa sepemahaman (disengagement style) dan gaya kontrol (conrol style) dapat merusak pengajaran dan manajemen sekolah serta mempengaruhi efektivitas sekolah.

7. Kualitas para administrator. Dalam model MBS sekolah memiliki otonomi tertentu. Partisipasi dan perkembangan dipandang sebagai suatu yang penting dalam menghadapi tugas pendidikan yang kompleks dan dalam mengejar efektivitas pendidikan. Dalam kasus ini persyaratan administrator yang berkualitas adalah sangat tinggi/penting. Mereka tidak hanya harus dilengkapi dengan pengetahuan dan teknik manajemen modern untuk mengembangkan sumber daya dan manusia, tetapi juga perlu untuk belajar dan tumbuh secara terus menerus untuk menemukan dan memecahkan masalah demi kemajuan sekolah. Singkatnya, untuk menjadi akrab dengan persyaratan sekolah semacam ini mereka perlu memperluas wawasan dan pemikirannya untuk belajar sehingga mereka dapat mempromosikan demi perkembangan jangka panjang sekolahnya.
8. Indikator-indikator efektivitas. Pada sekolah-sekolah yang dikontrol dari luar, maka perkembangan misi dan tujuan sekolah tidaklah penting. Indikator utama efektivitas sekolah adalah prestasi akademik pada pada akhir suatu tingkat sekolah, dan mengabaikan proses pendidikan dan pencapaian penting lainnya. Dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator multi-tingkat dan multi-segi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup proses pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena itu penilaian efektivitas sekolah harus memperhatikan multi-tingkat yaitu pada tingkat sekolah, kelompok, individual dan indikator multi-segi yaitu mencakup input, proses dan output sekolah disamping perkembangan akademik siswa.
Sementara itu berdasarkan konsep MPMBS karakteristiknya terdiri dari: output yang diharapkan, proses dan input (Depdiknas, op. cit, hh. 11-20).

1. Output yang diharapkan. Sekolah harus memiliki output yang diharapkan yaitu prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Output bisa berupa prestasi akademik seperti NEM, lomba karya ilmiah remaja, loma Bahasa Inggris, Metematika, Fisika, cara berfikir kritis, kreatif, nalar, rasional, induktif, deduktif dan ilmiah. Juga prestasi non akademik misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian dan kepramukaan.
2. Proses. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai berikut.
a. Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi.
b. Kepemimpinan sekolah yang kuat.
c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e. Sekolah memiliki budaya mutu.
f. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis.
g. Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.
h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.
i. Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
m. Komunikasi yang baik.
n. Sekolah memiliki akuntabilitas.

3. Input pendidikan yang meliputi:

a. Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas.
b. Sumberdaya tersedia dan siap.
c. Staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi.
d. Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
e. Fokus pada pelanggan.
f. Input manajemen.

Karakteristik MBS:
• Misi Sekolah
• Hakikat Aktivitas Sekolah
• Strategi-Strategi Manajemen
• Penggunaan Sumber Daya
• Perbedaan-perbedaan Peran
• Hubungan Antarmanusia
• Indicator-Indikator Efektivitas
• Kualitas Para Administrator

8. Karakteristik MBS secara keseluruhan ditinjau dari segi pengelolaan kekuasaan ditingkat sekolah :
• Partisipasi masyarakat
pengelolaan sekolah memerlukan keterlibatan masyarakat, sehingga keputusan yang disahkan oleh pihak sekolah diketahui juga oleh masyarakat juga dan masyarakat juga dapat ikut bermusyawarah dalam forum dan menyampaikan pendapat, untuk mendapat jalan keluar yang lebih baik lagi. Dalam pengelolaan juga dapat memperbaiki komunakisi antara masyarakat dan pihak sekolah sehingga masyarakat akan lebih peduli terhadap keadaan sekolah dan senantiasa ikut menjaga mutu sekolah
• Kemandirian
implementasi MBS memungkinkan gagasan dan pemikiran serta sumber daya sekolah yang dapat diolah secara langsung sesuai dengan kebutuhan murid yang dilayani. memperhatikan tujuan utama MBS adalah untuk menjamin mutu pembelajaran anak didik/para siswa yang berpijak pada asas student- driven services. Asas ini mengandung makna yang sangat mendasar, karena kepentingan dan aspirasi stakeholders (terutama orang tua) adalah terciptanya kondisi dan situasi yang kondusif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah untuk kepentingan prestasi hasil belajar dan kualitas pengembangan pribadi putra- putrinya. Implikasinya adalah kinerja kepemimpinan sekolah, mutu mengajar, fasilitas sekolah, program- program sekolah dan layanan lainnya di sekolah haruslah ditujukan pada jaminan terwujudnya layanan pembelajaran yang bermutu dan pengembangan pribadi para siswa sesuai dengan yang dicita- citakan.
Konsekuensinya adalah adanya kewenangan sekolah untuk mengembangkan program kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan pengayaan kurikulum dalam berbagai bentuk, misalnya menambah jam mata pelajaran yang ingin ditingkatkan kadar dan mutu pembelajarannya, memperkaya pokok atau subpokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu yang dianggap penting dan relevan dengan konteks kebutuhan anak di sekolah dengan memberi perhatian khusus pada pengembangan bakat dan minat para siswa.
Sejalan dengan kewenangan tersebut, sekolah pun memiliki kewenangan untuk menetapkan sumber pelajaran, fasilitas dan alat pelajaran yang diperlukan. Sebagai contoh misalnya, sekolah memiliki kewenangan menetapkan buku?buku sumber atau text- book mata pelajaran mana yang akan dipakai di sekolah itu (yang dijadikan pegangan utama bagi guru dan murid-¬murid).

• Transparansi dan akuntabilitas
Implementasi MBS merupakan implementasi manajemen sekolah yang ditandai dengan team work dan kebersamaan antara penyelenggara dengan stakeholders. Hal tersebut menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas yang terukur kepada stakeholders sebagai pihak yang berkepentingan terhadap penyelenggaraan pendidikan

• Peningkatan kesejahteraan
Implementasi MBS antara lain ditandai dengan adanya dewan sekolah yang berbeda dengan BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan). Dalam peran dan fungsinya yang berjalan sekarang, kemitraan BP3 terbatas pada aspek-aspek pemenuhan kebutuhan finansial, sarana prasarana sekolah, dan fasilitas pendidikan. Akan tetapi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kesejahteraan personil sekolah, MBS dapat menjadi saran yang penting melalui pemberdayaan dewan sekolah dan optimalisasi kemandirian yang dimiliki sekolah, dengan kemandirian yang dimiliki, sekolah dapat melakukan terobosan-terobosan baru yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan personil sekolah.

• Peningkatan kualitas sekolah
Untuk sementara ini, hasil-hasil kajian belum koherensi mengenai hubungan yang berarti antara format MBS dengan peningkatan hasil belajar murid, menurunnya angka putus sekolah, meningkatkan partisipasi sekolah (APK/APM), dan mutu disiplin murid. MBS mampu mewujudkan tata kerja yang lebih baik dalam empat hal berikut:
1) meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan penugasan staf,
2) meningkatkan profesionalisme guru,
3) munculnya gagasan-gagasan baru dalam implementasi kurikulum,
4) meningkatkan mutu. partisipasi kondisi-kondisi tersebut dapat dipandang sebagai hasil antara yang sangat potensial bagi peningkatan kinerja dan hasil belajar murid.

• Prinsip-prinsip good governance dalam penerapan MBS
Prinsip good governance dalam penerapan MBS yaitu menyangkut prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Prinsip transparansi merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara sekolah , keluarga dan masyarakat . Sehingga dalam semua kegiatan pembelajaran yang telaksana dapat diketahui secara transparan oleh pihak yang tersebut diatas. Prinsip partisipasi juga sangat baik dalam upaya pemberdayaan SDM dari pihak keluarga , masyarakat khususnya lingkungan sekolah., prinsip akuntabilitas sangat mendukung berkembangnya pola penerapan MBS dalam pendidikan, dalam kaitannya dengan proses pembelajaran sampai pada kinerja administrasi.



9. Illustrasi penerapan prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas dalam pelaksanaan pembelajaran dikelas :
a) Prinsip Partisipasi
Penerapan dalam pembelajaran dikelas adalah tanggung jawab atas kebersihan kelas. Semua siswa harus aktif melaksanakan jadwal piket yang telah ditetapkan. Sedangkan guru harus mengawasi ketertiban jadwal piket anak didiknya.
b) Prinsip Transparansi
Pemasukan dan pengeluaran uang kas harus diketahui seluruh siswa. Untuk mengetahui transparansi keuangan kelas. Guru harus mengawasi keuangan anak didiknya, supaya tidak terjadi korupsi didalam kelas.
c) Prinsip Akuntabilitas
Contoh prinsip akuntabilitas didalam pembelajaran adalah Siswa harus bertanggung jawab atas semua tugas dan pelajaran yang telah diterima kepada guru dan orang tuanya.

10. Jelaskan latar belakang perlunya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah !
Implementasi MBS di Indonesia mendapat dukungan vesar dari berbagai lembaga donor internasional. Misalnya Selndia baru donor kepada AS guna mendukung pelaksanaan program ini. Lembaga donor internasional tidak kalah antisias membantu pelaksanaan MBS di negeri ini. Negara-negara yang yang telah menerapkan MBS meyakini bahwa pendekatan ini akan menjadi resep yangcukup efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara komprehesi.

Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, bernasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Bernasisi memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asa. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan mmberi pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitusemula diatur oleh birokrasi diluar sekolah menuju pengelolaan yang bernasisi pada potensi internal sekolah itu sendiri.
Dari asal usul peristilahan, MBS adalah terjemahan langsung dari school-Based Management (SBM). Istilah ini mula-mula muncul di Amerika SErikat pada tahun 1970-an sebagai alternatifuntuk mereformasi pengelolaan pendidika atau sekolah. REformasi itu diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahuntidak dapat menunjuka peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah. Tuntutan perubahan lingkungan sekolah dimaksudkan antara lain tuntutan dunia kerja, tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan social, ekonomi, hokum,dan politik. Lulusan sekolah- sekolah saat itu dibawah standar untuan berbagai bidang kebutuhan, yang mengakibatkan kekecewaan banyak kalangan yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Defenisi- defenisi yang ditemukan cukup bervariasi. Ada yang lingkupnya luas sekali seingga mencakup kawasn politis, ada pula yang bermakna lebih sempit, yaitu hanya mencakup kawsan operasional sekolah bahkan ada yang lebih spesifik, yaitu pada proses belajar mengajar di kelas saja. Namun demikian, pada intinya sama, yaitu terjadinya pegeseran kewenangan yang semula berada di tangan birokrasi pemeritah pusat ataupun daerah menu ke lingkungan sekolah.
Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996). Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat local guna memajukan sekolah. Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung jawab pada bidang tertentu seperti yang dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakkan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah menyangkut bidang anggaran, personal, dan kurikulum.
Oleh karena itu, MBS memberikan hak control proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua. Berdasarkan definisi tersebut, yang dimaksud kinerja sekolah adalah terjadinya lingkungan belajar yang efektif. Diyakini dengan adanya lingkungan belajar yang efektif maka prestasi belajar siswa, berupa prestasi akademik ataupun nonoakademik akan meningkat. Alasan ini sangat rasional karena lingkungan sekolahlah yang paling mengetahui bagaimana menciptakaan lingkungan belajar yang efektif bagi siswanya. Pelaksanaan MBS harus menentukan salah satu focus arah dan tujuan secara jelas, yaitu bagian mana kinerja sekolah yang akan ditingkatkan. Sulit untuk meningkatkan kinerja sekolah secara umum tanpa adanya arah yang jelas. Apakah akan trfokus pada mutu belajar siswa, mutu pengelolaan keuangan, mutu manajemen ekolah, mutu kurikulum, mutu personal, dan lain-lain. Dalam manajemen sekolah model MBS ini berarti tugas-tugas manajemen sekolah ditetapkan menurut karakteristik dan kebutuhan-kebutuhan sekolah itu sendiri. OLeh karena itu, warga sekolah memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas penggunaan sumber daya sekolah guna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan yang efekif demiperkembangan jangka panjang sekolah.
MBS adalah bentuk alternative sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang senralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efesiensi, serta manajemen yang bertumpu pada sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan , dan dikelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS juga memiliki potensi yang besar pula menciptakaan kepala sekolah, guru, dan administrator yang professional. DEngan demikian, sekolah akan bersifat responsive terhadap kebutuhan masing-masing siswa dapat optmalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat. MBS didefinisiskan sebagai desentarilasasi otoritas pengambilan keputusan pada tingkat keputusan pda tingkat sekolah yang pada umumnya menyangkut tiga bidang , yaitu anggaran, kurikulum, dan personel. Dalam system MBS otoritas dapat dapat ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah., dari daerah pemerintah daerah ke pengawas sekolah, dari pengawas sekolah kedewan sekolah, dari dewan sekolah ke kepala sekolah , guru, administrator, konselor, pengembang kurikulum, dan orang tua. MBS adalah suatu bentuk administrasi pendidikan, dimana sekolah menjadi unit utama dalam pengambilan keputusan.
Hal ini berbeda dengan bentuk tradisional manajemen pendidikan, dimana birokrasi pemerintah pusat sangat dominant dalam proses pembuatan keputisan. Dalam hal ini MBS disebut sebagai School-Based Decision Making and managementyang secara tegas disebut bahwa refer to a form of educational administration in wich the school become the primary unit for decision making. Itdiffers from more tradisional from of educational administration in which a central bureaucracy dominated the decision making proses. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesa menyebutkan MBS dengan Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Secara umum MPMBS diartikan sebagai model menejemen yang memberikan otonomi lebih besar dari pada sekolah dan mendorong pengambila keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung seua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarka kebijakan pendidika nasional. MBS merrupakan strategi dalam rangka jmeningkatkan kualitas pendidikan negeri.

11. Kemukakan contoh kriteria keberhasilan implementasi MBS dalam meningkatkan mutu sekolah!
Ukuran Keberhasilan MBS:
Keberhasilan MBS adalah apabila jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan senmakin meningka. Masalah siswa yang bisa mendaftar sekolah karena masalah ekonomi akan dipecahkan secara bersama-sama oleh warga seloah melalui subsidi silang dari mereka yang ekonominya lebih mampu. Mampu dalam menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.

Faktor Pendukung Kesuksesan Implementasi MBS
suatu program yang dicanangkan tidak akan berjalan dengan berhasil secara maksimal apabila tidak tersedia berbagai faktor pendukung. Factor pendukung bisa berasal baik dari internal maupun eksternal. Dalam implementasi MBS, secara luar dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik itu sekadar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal. Dukungan financial, dukungan sumber daya manusia beserta pemikirannya, dan sarana dan prasarana lainnya juga menjadi factor pendukung yang paling penting.
Ketika MBS baru tahap-tahap awal dilaksanakan di Amerika Serikat, factor pendukung sumber daya manusia belum memadai. Walaupun Site-Based Management ( SBM) telah popular di Amerika Serikat, manfaatnya belum banyak dimengerti secara baik oleh para pelaku pendidikan. Di banyak distrik SBM memiliki asumsi bahwa penerapan strategi ini akan mambimbing kea rah perbaikan kualitas keputusan dan meningkatkan program sekolah. Namun, banyak diantaranya mereka yang belum mengerti proses pencapaian tujuan MBS itu. Akhirnya, banyak waktu dan tenaga yang dicurahkan oleh para partisipasipan sekolah dalam implementasi MBS yang belum komplet tersebut. Konsekuensinya adalah munculnya kefrustasian, ketidakpuasan, menghabiskan tenaga dan akhirnya kembali pada pola sebelumnya. Oleh karena itu, pada tahap awal implementasi MBS harus dipersiapkan program sosialisasi yang matang agarc berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah menyadari akan pentingnya implementasi pendidikan.
Berdasarkan pengalaman Reynolds (1997) dalam menerapkan MBS di Amerika Serikat, yang paling memakan waktu adalah dalam membangun tim local yang berpusat pada tiga hal: yaitu isu-isu yang berkaitan dengan organisasi tim local dan upaya untuk mendefinisikan tujuannya, isu-isu yang berkaitan dengan manajemen di samping isu pengajaran, dan usulan yang ditolak oleh tingkat yang tinggi dalam suatu distrik.

Strategi Sukses Implementasi MBS
Studi literature ini diambil dari tulisan Oswald (1995) tentang School-Based Management, Kubick (1998) tentang School-Based Management and Student Performance, Wohlstter dan Mohrman (1993). Pada dasarnya, tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi implementasi MBS di suatu Negara lain bisa berlainan., antara lain satu daerah dengan daerah lain juga bisa berbeda, bahkan antara sekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Secara um+um dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi berikut ini. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secar berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan intruksional serta non- instruksional. Sekolah harus banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimana pun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas. Ketiga, adanya kemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan secara umum. Kepala sekolah dalam MBs berperan sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Bagaimanapun itu kepala sekolah adalah pemimpin yang memiliki kekuatan untuk itu. Keempat, adanya proses pengambilan yang demokrasi dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokrasi dan memperhatikan inspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas sehingga hanya menyenangkan pemimpinnya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama. Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jaawabnya secara sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Keenam, adanya guidelines dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mendorong proses pendidikan di sekolah secara efektif dan efisien. Ketujuh, sekolah harus memiliki transparasi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawaban tiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk tanggung jawab sekolah rterhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah hrus dijalankan secara transparan, demokrasi, dan terbuka dalam semua pihak yang terkait.



12. Jelaskan keterkaitan antara Standar Pelayanan Minimal bidang pendidikan dengan MBS
Dengan meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak sama- sama meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat. Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui pendekatan pemberdayaan sekolah dalam mengelola institusinya.
MBS akan terlaksana apabila didukung oleh sumber daya manusia ( SDM ) yang memiliki kemampuan, integritas dan kemauan yang tinggi. Salah satu unsur SDM dimaksud adalah guru, di mana guru merupakan faktor kunci keberhasilan peningkatan mutu pendidikan karena sebagai pengelola proses belajar mengajar bagi asiswa
13. Kemukakan contoh standar pelayanan minimal pendidikan bidang sarana dan prasarana sekolah yang harus ada di SD /MI
Guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.

Tidak ada komentar: